PERATURAN TERKAIT CSR

Jika melihat Peraturan yang melingkupi CSR atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan ( PKBL ) BUMN, pada dasarnya terdapat tiga rujukan ;

Pertama, UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, menerangkan mengenai aturan Program Kemitraan (PK), sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 6 membahas mengenai bantuan terhadap peningkatan usaha kecil, dan Program Bina Lingkungan (BL) diatur dalam Pasal 1 ayat 7, dimana ruang lingkup BL diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e, meliputi bantuan terhadap korban bencana alam, pendidikan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, bantuan sarana ibadah, dan bantuan pelestarian alam.

Kedua, Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT), yaitu Undang-undang No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA, ayat 2 mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 mengenai sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan. Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Namun UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.

Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut diatas membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha swasta lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. 

Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ? 
Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan Kedua, Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT), yaitu Undang-undang No.40 Tahun 2007.

Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA, ayat 2 mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 mengenai sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan. Ketiga, Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.
Namun UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional. Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut diatas membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha swasta lokal.
Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?

Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan
Pada dasarnya peraturan mengenai CSR adalah peraturan dalam proses penyempurnaan karena belum mengikat PT secara umum. Peraturan Menteri BUMN sebetulnya lebih detail membahas mengenai apa saja yang termasuk dalam program kemitraan dan bina lingkungan, dibanding UU PT maupun UU penanaman modal. Undang-Undang PT seakan berlaku diskrimintaif, hanya mengatur perusahaan ekstraktif (terkait SDA), tidak mengikat perusahaan lain yang sama-sama berdampak terhadap sosial dan lingkungan. 

Dari argumentasi diatas bisa disimpulkan bahwa peraturan yang ada terkait CSR baru mengikat BUMN, Perusahaan ekstraktif (tambang dan sumber daya mineral lainnya), serta perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Sedangkan perusahaan jasa, kimia, perdagangan, dan industri lainnya tidak bisa dipaksakan untuk melaksanakan CSR, kecuali dikaitkan dengan peraturan global ISO 26000.

Lahirnya CSR dipengaruhi oleh fenomena DEAF (yang dalam Bahasa Inggris berarti tuli) di dunia industri. DEAF adalah akronim dari Dehumanisasi, Emansipasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi :

·       Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger mania” dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang PHK dan pengangguran. Ekspansi dan eksploitasi industri telah melahirkan ketimpangan sosial, polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.

·             Emansipasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggung jawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut kepedulian perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya

·           Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rente ekonomi dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis dan filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.

·      Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin menuntut penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pendirian fasilitas pendidikan, kesehatan dan perawatan anak (child care) atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja adalah beberapa bentuk respon terhadap isu ini Jika dikelompokkan, sedikitnya ada empat manfaat CSR terhadap perusahaan.

·             Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera “Beyond Petroleum”-nya), sering dianggap sebagai memiliki image unik terkait isu lingkungan.

·             Human resources.
Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interview, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja.

·      License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.

·      Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-resiko bisnis.